Oleh:
Mar’i Mahdy Ahmad
NIM : 201131110012
Rahibun
Abdullah
NIM : 201131110019
Dosen Pengampu:
Mashud, S.Sos.I., M.S.I
Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam
Jurusan Dakwah
Sekolah Tinggi Agama Islam Luqman al-Hakim
Surabaya
2013
Bab I
Pengantar
Definisi sederhana dari organisasi adalah suatu kelompok orang yang
mempunyai tujuan yang sama. Tujuan merupakan hasil yang berupa barang, jasa, pengetahuan
dan lain - lain. Tujuan disini dapat didefinisikan sebagai output, dan untuk
menjadi output di perlukan input. Input dapat berupa raw material, sumber daya manusia, materi, informasi dll. Sistem
sendiri dapat didefenisikan sebagai suatu kesatuan yang terdiri dari komponen
atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi
atau energi.
Pada kesempatan ini kami akan membahas makalah
dan tugas presentasi yang berjudul sistem organisasi, yang meliputi dasar-dasar struktur
organisasi, kultur
organisasi, dan kebijakan
SDM dan praktiknya.
Segala kekurangan yang terdapat pada makalah ini, kami meminta maaf yang
sebesarnya. Serta juga berterimakasih karena telah diberi waktu untuk membahas
dan mempresentasikan makalah ini.
Bab II
Pembahasan
A.
Dasar-Dasar Struktur Organisasi
Struktur adalah cara sesuatu disusun atau dibangun, Organisasi adalah suatu
wadah berkumpulnya minimal dua orang untuk mencapai sebuah tujuan. Struktur
Organisasi adalah Suatu susunan dan hubungan antara tiap bagian secara posisi
yang ada pada perusahaaan dalam menjalin kegiatan operasional untuk mencapai
tujuan (ensiklopedi bebas).
Ada enam elemen kunci yang perlu diperhatikan oleh para manajer ketika
mereka hendak mendesain struktur organisasi mereka. Keenam elemen tersebut
adalah[1]:
1. spesialisasi
kerja,
2. departementalisasi,
3. rantai komando,
4. rentang kendali,
5. sentralisasi dan desentralisasi,
6. serta
formalisasi.
Specialisasi Pekerjaan
Dengan memecah-mecah pekerjaan menjadi tugas-tugas kecil yang baku yang
dapat dilaksanakan terus berulang-ulang, suatu pekerjaan dapat dikerjakan
secara lebih efektif. Spesialisasi pekerjaan (work specialization), atau pembagian tenaga kerja (division of labor), digunakan untuk
menggambarkan sejauh mana berbagai kegiatan dalam organisasi dibagi-bagi menjadi
beberapa pekerjaan tersendiri.
Departementalisasi
Departementalisasi adalah dasar yang dipakai untuk mengelompokkan pekerjaan
secara bersama-sama. Departementalisasi dapat berupa proses, produk, geografis, dan pelanggan. Setelah memecah-mecah pekerjaan
melalui spesialisasi, perlu mengelompokkannya bersama sehingga tugas-tugas yang
sama dapat dikoordinasi dalam satu basis.
Keuntungan utama dari cara pengelompokkan semacam ini adalah didapatnya
efisiensi dari disatukannya para spesialis yang sama. Departementalisasi
fungsional berusaha mencapai skala ekonomi dengan cara menempatkan orang-orang
dengan keterampilan dan orientasi yang sama ke dalam unit yang sama.
Rantai Komando
Rantai komando adalah garis wewenang yang tanpa putus yang membentang dari
puncak organisasi ke eselan paling bawah dan menjelaskan siapa bertanggung jawab kepada siapa.
Dua konsep lain yang melengkapi rantai komando, yaitu wewenang dan kesatuan
komando. Wewenang (authority) mengacu
pada hak-hak yang melekat dalam sebuah posisi manajerial untuk memberikan
perintah dan untuk berharap bahwa pemerintah itu dipatuhi. Untuk memfasilitasi
koordinasi, tiap posisi manajerial diberi sebuah tempat dalam rantai komando,
dan tiap manajer diberi tingkat wewenang tertentu untuk memenuhi tanggung
jawabnya. Prinsip kesatuan komando (unity
of command) membantu melanggengkan konsep garis wewenang yang tidak
terputus.
Rentang Kendali (span of control)
Rentang kendali adalah Jumlah bawahan yang dapat diarahkan oleh seorang
manajer secara efisien dan efektif. Pertanyaan mengenai rentang kendali penting
karena hingga kadar tertentu hal ini menentukan jumlah tingkatan dan manajer
yang perlu dimiliki oleh suatu organisasi. Dengan mengendalikan semua hal yang
sama, semakin lebar atau besar rentangannya, semakin efisien organisasi.
Rentang kendali yang lebih lebar akan lebih efisien dalam hal biaya. Namun,
dalam keadaan tertentu, rentang yang lebih lebar bisa mengurangi efektivitas.
Itu terjadi bila rentang tersebut menjadi terlalu lebar, kinerja karyawan
memburuk karena para penyelia tidak lagi memiliki waktu untuk memberikan
kepemimpinan dan dukungan yang diperlukan.
supervisi yang terlalu ketat sehingga menghambat
otonomi karyawan.
Sentralisasi dan Desentralisasi
Sentralisasi
mengacu pada sejauh mana tingkat pengambilan keputusan terkonsentrasi pada satu
titik di dalam organisasi. Desentralisasi adalah lawan dari sentralisasi. Di
beberapa organisasi, manajer puncak membuat semua keputusan. Manajer tingkat
bawah hanya menjalankan arahan manajemen puncak. Di sisi ekstrem yang lain, ada
organisasi yang pengambilan keputusannya diserahkan kepada para manajer yang
paling dekat dengan suatu tindakan. Organisasi yang pertama disebut sangat
sentralisasi, yang kedua desentralisasi.
Istilah
sentralisasi (centralization) mengacu
pada tingkat sampai sejauh mana pengambilan keputusan dikonsentrasikan pada
satu titik tunggal dalam organisasi. Konsep tersebut hanya mencakup wewenang
formal, yaitu hak-hak yang melekat pada posisi seseorang. Biasanya, suatu
organisasi dikatakan sentralistis jika manajemen puncak membuat
keputusan-keputusan kunci organisasi dengan meminta sedikit masukan atau tanpa
masukan sama sekali dari personel tingkat bawah. Sebaliknya, semakin banyak
personel tingkat bawah yang memberikan masukan atau secara aktual diberi
kebebasan memilih untuk membuat keputusan, semakin desentralistis suatu
organisasi. Organisasi yang dicirikan dengan sentralisasi secara inheren berbeda dengan organisasi
desentrralistis. Dalam organisasi yang desentralistis, tindakan untuk
memecahkan masalah dapat diambil dengan lebih cepat, lebih banyak orang bisa
memberikan masukan bagi keputusan, dan karyawan lebih kecil kemungkinannya
merasa terasing dari mereka yang membuat keputusan yang memengaruhi kehidupan
kerja mereka.
Formalisasi
Formalisasi
mengacu pada sejauh mana pekerjaan-pekerjaan di dalam organisasi dibakukan.
Jika sebuah pekerjaan sangat formal, pemangku pekerjaan akan memiliki sedikit
sekali kebebasan untuk memilih apa yang harus dikerjakan, kapan harus
dikerjakan, dan bagaimana dikerjakan. Karyawan diharapkan untuk selalu
menangani input yang sama dengan cara yang sama, serta akhirnya menghasilkan
output yang konsisten dan seragam. Di organisasi dengan tingkat formalisasi tinggi,
ada deskripsi tugas yang jelas, beragam aturan organisasi, dan prosedur yang
didefinisikan secara tegas.
B. Kultur Organisasi
Kesepakatan yang luas bahwa kultur organisasi (organizational
culture) mengacu pada
sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh para anggota yang membedakan
organisasi lainnya. Sistem makna bersama ini,
ketika dicermati secara lebih seksama, adalah sekumpulan karakteristik kunci
yang dijunjung tinggi oleh organisasi.
Ada tujuh
karakteristik utama yang secara keseluruhan merupakan hakikat kultur sebuah
organisasi[2]:
- Inovasi dan keberanian mengambil resiko. Sejauh
mana karyawan didorong untuk bersikap inovasi dan berani mengambil resiko.
- Perhatian pada hal-hal rinci. Sejauh mana
karyawan diharapkan menjalankan presisi, analisis, dan perhatian pada
hal-hal detail.
- Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen berfokus
lebih pada hasil ketimbang pada teknik dan proses yang digunakan untuk
mencapai hasil tersebut.
- Orientasi
orang. Sejauh mana keputusan-keputusan manajemen memepertimbangkan efek
dari hasil tersebut atas orang yang ada dalam organisasi.
- Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan-kegiatan
kerja diorganisasi pada tim ketimbang pada individu-individu.
- Keagresifan. Sejauh mana orang bersikap agresif
dan kompetitif ketimbang santai.
- Stabilitas. Sejauh mana kegiatan-kegiatan
organisasi menekankan dipertahankannya status quo dalam perbandingannya
dengan pertumbuhan.
Peran kultur dalam mempengaruhi karyawan menjadi semakin penting di tempat
kerja saat ini. Tatkala organisasi terus memperluas rentang kendali, meratakan
struktur, memperkenalkan tim, mengurangi formalisasi, dan memberdayakan
karyawan mereka, makna bersama yang diberikan oleh kultur yang kuat memastikan
bahwa setiap orang dituntun ke arah yang sama.
Kultur adalah suatu istilah Deskriptif
Kultur organisasi berkaitan dengan bagaimana karyawan memahami
karakteristik kultur suatu organisasi, bukan dengan apakah mereka menyukai
karakteristik itu atau tidak. Kultur organisasi adalah suatu istilah
deskriptif. Ini penting karena hal ini membedakan konsep ini dari konsep
kepuasan kerja. Semakin kuat kultur sebuah organisasi, semakin kecil kebutuhan
manajemen untuk menyusun dan menetapkan beragam aturan dan ketentuan formal yang
dimaksudkan guna menuntun perilaku karyawan.
Fungsi-fungsi kultur
Kultur memiliki sejumlah fungsi dalam sebuah
organisasi, diantaranya;
- Berperan sebagai penentu batas-batas, artinya kultur
menciptakan perbedaan antara satu organisasi dengan organisasi lainnya.
- Rasa identitas anggota organisasi.
- Kultur memfasilitasi lahirnya komitmen terhadap
sesuatu yang lebih besar daripada kepentingan individu.
- Kultur meningkatkan stabilitas sistem sosial.
Kultur adalah perekat social yang membantu menyatuka organisasi dengan
cara menyediakan standar mengenai apa yang sebaiknya dikatakan dan
dilakukan karyawan.
- Kultur
bertindak sebagai mekanisme sense-making
serta kendali yang menuntun dan membentuk sikap dan perilaku karyawan.
Kultur sebagai Beban
Kultur mempertinggi komitmen organisasional dan meningkatkan konsistensi
perilaku karyawan. Ini merupakan keuntungan bagi organisasi. Dari sudut pandang
karyawan, kultur bernilai karena mengurangi ambiguitas. Kultur memberi tahu karyawan bagaimana segala sesuatu dilakukan dan
apa yang penting
Hambatan untuk Perubahan
Kultur menjadi kendali manakala nilai-nilai yang dimiliki bersama tidak
sejalan dengan nilai-nilai yang dapat meningkatkan efektivitas organisasi. Hal
ini paling mungkin terjadi bila lingkungan sebuah organisasi bersifat dinamis.
Ketika lingkungan terus berubah dengan cepat, kultur yang sudah kuat mengakar
dalam sebuah organisasi mungkin tidak pas lagi. Karenanya, konsistensi perilaku
menjadi asset sebuah organisasi hanya ketika hal ini berhadapan dengan
lingkungan yang stabil. Namun, konsistensi semacam itu bisa menghambat dan
mempersulit organisasi untuk menggapai perubahan yang terjadi di lingkungan.
Hambatan bagi Keragaman
Merekrut karyawan baru yang karena factor ras, usia, jenis kelamin,
ketidakmampuan (cacat), atau perbedaa-perbedaan lain, tidak sama dengan
mayoritas anggota organisasi lain akan menciptakan sebuah paradoks. Manajemen
mengingkinkan karyawan baru tersebut menerima nilai-nilai inti dari kultur
organisasi. Jika tidak, karyawan-karyawan ini tidak mungkin cocok atau
diterima. Tapi pada saat yang sama manajemen ingin secara terbuka mengakui dan
menjunjung tinggi berbagai perbedaan yang dibawa oleh karyawan-karyawan ini
ketempat kerja.
Kultur yang kuat memiliki tekanan yang besar kepada karyawan untuk
menyesuaikan diri. Kultur tersebut membatasi rentang nilai dan gaya yang dapat
diterima.
Hambatan bagi Akuisi dan Merger
Secara historis, faktor-faktor kunci yang diperhatikan manajemen ketika
membuat keputusan akuisi atau merger terkait dengan isu keuntungan financial
atau sinergi produk. Belakangan ini, kompabilitas (kesesuaian) kultur juga
menjadi fokus utama. Sementara laporan keuangan atau lini produk yang
menggembirakan mungkin merupakan daya tarik awal dari perusahaan yang akan
diakuisi, apakah akuisi tersebut benar-benar akan berhasil tampaknya lebih
terkait dengan seberapa cocok atau sesuai kultur kedua organisasi tersebut.
Merger memiliki tingkat kegagalan yang sangat tinggi, dan senantiasa disebabkan
oleh persoalan manusia.
C.
Kebijakan SDM dan Praktiknya
Sumber daya
manusia sebagai individu-individu di dalam organisasi memiliki keunikannya
masing-masing yang tidak dapat disamaratakan sehingga kebijakan yang diterapkan
dalam suatu organisasi selayaknya mampu mewadahi bahkan menjembatani beragam
keunikan tersebut. Kebijakan yang ditetapkan dalam organisasi beserta
praktiknya mempengaruhi perilaku kelompok maupun individu dalam organisasi
tersebut.
- Pentingnya pengelolaan MSDM
SDM merupakan asset kritis organisasi yang tidak hanya diikutsertakan dalam
filososfi perusahaan/organisasi tapi juga dalam proses perencanaan strategis.
Sukses bersaing organisasi bisa dicapai dengan pengelolaan SDM potensial yang
dimilikinya.
- Kebijakan dan Praktik MSDM dalam Organisasi
Banyak perusahaan yang ingin memiliki karyawan yang bersahabat dan
ramah. Perusahaan-perusahaan sadar bahwa
jauh lebih mudah memperkerjakan orang-orang dengan kepribadian yang mereka
cari, daripada memiliki dengan hanya kecakapan teknis, dan kemudian berusaham untuk
mengubah mereka melalui pelatihan.
- Evaluasi kinerja dalam sistem organisasi
Sebuah organisasi yang betul-betul efektif adalah organisasi yang mampu
menciptakan suasana kerja dimana para pekerja tidak hanya melaksanakan
pekerjaan yang telah dibebankan saja tapi juga mampu membuat suasana supaya
para pekerja lebih bertanggung jawab, bertindak secara kreatif demi peningkatan
efesiensi dalam usaha mencapai tujuan. Tiga pendekatan dalam memahami
efektivitas menurut steers (1985)[3];
- Pendekatan Tujuan, pencapaian tujuan merupakan
indikator utama dalam menilai efektivitas
- Pendekatan Sistem, efektivitas diukur dengan meninjauh
sejauh mana berfungsinya unsur-unsur dalam sistem untuk mencapai tujuan
- Pendekatan Kepuasan Partisipasi, dalam pendekatan
ini, individu partisipan ditempatkan sebagai acuan utama dalam menilai
efektivitas. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa keberadaan organisasi
ditentukan oleh kualitas partisipasi kerja individu.
Diantara
tujuan evaluasi adalah;
- Untuk membantu manajemen dalam membuat
keputusan-keputusan umum terkait SDM.
- Mengidentifikasi kebutuhan traning dan
pengembangan SDM.
- Sebagai kriteria untuk menilai/memvalidasi
seleksi dan program pengembangan yang dilaksanakan.
Daftar Pustaka
Knight, K. “Matrix
Organization,” Journal of Management
Studies, Mei 1976.
Mohrman, S. A. Designing Team-Based Oranization, San
Fransisco: Jossey Bass, 1995.
Robbins, Stephen P.; Judge,
Timothy A. (2008). Perilaku Organisasi
Buku 2, Jakarta: Saelemba Empat.
[3] Robbins, Stephen P.; Judge, Timothy A. (2008). Perilaku Organisasi Buku 2, Jakarta: Saelemba Empat. Hal. 214-224
Tidak ada komentar:
Posting Komentar