Jumat, 28 Desember 2012

MAKALAH Ulumul Hadis



MAKALAH
Ulumul Hadis
                                                       Dosen Pembimbing : Ust.Marni Mulyana Lc.        

Tentang :
Periwayatan Hadis dengan Makna dan Lafas






Di Susun Oleh :
Mar’i Mahdy A.
Muh.Fauzan


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM LUQMAN AL HAKIM SURABAYA
Jln. Kejawan Putih Laguna VI / I Mulyorejo Telp. (031) 5992062
http://www.stail.ac.id   E-mail : stail_031@yahoo.com






A. Pendahuluan
            Al-Hadis atau al-khabar (berita) yaitu sesuatu yang dipindahkan dari seseorang kepada orang lain[1] dan merupakan landasan untuk mengambil dalil dan hujjah yang kedua setelah al-Qur’an, hadis juga sangat berperan penting dalam berbagai aspek kehidupan di dunia dan akhirat. Maka dari itu seorang muslim juga sangat perlu untuk mengkaji hadis. Kalau al-Qur’an itu bisa di ibaratkan sebagai makanan maka hadis juga bisa diibaratkan sebagai air minumnya, maka bisa kita simpulkan kalau hadis itu berkaitan erat dengan al-Qur’an. Adalah Islam dibangun di atas pondasi sistem yang kokoh. Kerangka-kerangka dasar sistem tersebut telah disusun dengan baik oleh sang pembawa risalah Islam, nabi Muhammad SAW, dalam bingkai bimbingan wahyu Ilahi. Rangkaian sistem tersebut tertuang ke dalam dua wadah mulia, yakni al-Quran dan hadith (selanjutnya disebut hadis) atau sunnah.
Al-Quran dan hadis memiliki keterkaitan kuat dalam proses membimbing umat Islam, walaupun keduanya memiliki derajat yang berbeda dalam beberapa aspek, baik dalam proses periwayatan, pengamalan ataupun posisinya sebagai sumber hukum, di mana al-Quran diposisikan lebih awal dan hadis pada posisi selanjutnya. Al-Quran sebagai sumber utama dan hadis sebagai penafsir al-Quran dalam praktek atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal.
Al-Quran dan hadis telah disepakati oleh sebagian besar ummat Islam sebagai dua sumber hukum pokok, sedangkan sebagian kecil lain hanya menjadikan al-Quran sebagai sumber hukum Islam dan di sisi lain menolak hadis sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam, yang kemudian lazim dikenal dengan ingkar sunnah (Inkar sunnah).

B. Pengertian
Memahami kalimat “Periwayatan Hadis dengan Lafal dan Makna”[2], ada empat kata yang harus didefenisikan terlebih dahulu, yaitu: periwayatan, hadis, lafal dan makna. Selain itu, kalimat tersebut juga selanjutnya didefenisikan ke dalam dua variabel untuk sampai pada sebuah pengertian yang utuh, yaitu periwayatan hadis dengan lafal dan periwayatan hadis dengan makna.
Pertama, periwayatan. Kata periwayatan dikenal dalam bahasa Arab adalah al riwayat bentuk masdar dari kata rawa, secara bahasa berarti al-naql (penulisan), al-dhikr (penyebutan), al-fatl (pintalan), dan al-istiq’ (pemberian minum), kata ini juga diartikan dengan kata hamala dan qassa. Dalam perbendaharaan bahasa Indonesia kata riwayat diartikan dengan cerita turun temurun, sejarah, dan tambo, sedangkan untuk kata kerjanya adalah meriwayatkan diartikan dengan menceritakan. Dari beberapa defenisi perkata tersebut, dapat diambil beberapa kata yang dapat mewakili defenisi kata periwayatan, yakni penyebutan, penerimaan dan kisah atau cerita. Dalam artian bahwa kata periwayatan dapat didefenisikan sebagai sebuah proses menyebutkan, mengisahkan, menceritakan atau menerima sebuah informasi tentang suatu objek.
Kedua, hadis. Kata ini didefenisikan oleh para ulama secara beragam dengan subjektifitas masing-masing. Selain itu, hadis juga sering disinonimkan dengan beberapa istilah seperti khabar, athar, ataupun sunnah. Terlepas dari keragaman perbedaan tersebut, yang diketengahkan hanya defenisi secara umum yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW. Baik perkataan, perbuatan, takrir atau sifat-sifatnya baik sebelum atau sesudah diangkat menjadi Nabi. Untuk memfokuskan pembahasan, kami akan mendefinisikan hadis khusus pada pembahasan ini, sebagai informasi tentang perkataan perbuatan, takrir, ataupun hal ihwal nabi secara tekstual yang telah diriwayatkan oleh para perawi yang sampai pada kita saat sekarang ini.
Ketiga, lafal. Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata ini didefenisikan sebagai cara seseorang atau kelompok orang dalam suatu masyarakat mengucapkan bunyi bahasa. Kata ini, dalam bahasa Arab sama dengan lafaza yang bermakna nataqa bihi (mengucapkan atau melafalkan). Sedangkan secara nomina berarti ucapan. Dalam hal ini yang dimaksud adalah apa yang menjadi ucapan Nabi secara harfiah.
Keempat, makna. Kata makna memiliki dua arti, arti dan maksud pembicara atau penulis, pengertian yang diberikan pada sebuah bentuk kebahasaan. Dalam artian bahwa kalimat yang dimaksud hanya memiliki arti dan maksud yang sama tetapi berbeda secara lafal[3].Pada pendefinisan selanjutnya dikerucutkan pada bentuk kalimat proses periwayatan jika dihubungkan dengan objek, dalam hal ini adalah hadis, dapat didefenisikan sebagai proses menceritakan atau menyampaikan hadis. Dalam tinjauan istilah ilmu hadis, periwayatan didefenisikan sebagai kegiatan menerima hadis, menukilkan serta menyandarkan hadis itu kepada rangkaian para pembawanya.
Dari defenisi-defenisi di atas dapat dipahami bahwa periwayatan hadis paling tidak memiliki tiga unsur yang saling terkait yaitu orang yang menyampaikan atau menceritakan hadis (periwayat), hadis sebagai materi cerita dan orang yang mendengar atau menerima hadis.
Dari defenisi empat kata di atas, disimpulkan kedalam dua bentuk yang lebih terfokus, yaitu periwayatan hadis dengan lafal dan periwayatan hadis dengan makna. Bentuk pertama diartikan sebagai proses penyampaian informasi yang berasal dari Rasulullah (hadis) sesuai dengan apa yang disampaikan tanpa merubah lafal. Sedangkan bentuk kedua adalah proses penyampaian informasi yang berkaitan dengan Rasulullah dengan lafal masing-masing penyampai informasi dengan tidak meninggalkan esensi makna informasi tersebut. 

C. Periwayatan Hadis dengan Lafal
Karena adanya rasa takut, maka jika mereka (para periwayat hadis) merasa harus menyampaikan hadis (redaksi atau teks hadis), cara periwayatan mereka umumnya diungkapkan dalam bentuk lafalnya (teks aslinya) persis seperti yang mereka terima dari Rasulullah. Mereka tidak berani merubah sedikitpun redaksi hadis meskipun dengan sekedar mengganti huruf yang satu dengan huruf lainnya, menukar kata yang satu dengan kata lain yang semakna, atau juga merubah urutan kalimatnya. Cara periwayatan seperti ini merupakan konsekuensi dari rasa tanggung jawab mereka yang terhadap sebuah hadis. Apalagi mereka menyadari betul bahwa hadis adalah wahyu juga seperti halnya al‑Qur’an. Tentunya hadis harus dijaga dari kepalsuan‑kepalsuan. Meriwayatkan hadis tanpa mengadakan perubahan redaksinya sedikitpun merupakan suatu cara menjaga dan melestarikan kemurnian sumber dan ajaran Islam itu sendiri.
Menurut mereka (para periwayat hadis), melindungi hadis dari kepalsuan‑kepalsuan haruslah dilakukan sejak awal dan dilakukan mulai dari kalangan sahabat sebagai generasi pertama pemegang estafet bendera Islam setelah Rasulullah meninggalkan mereka semua.
Berikut ini akan dikemukakan bagaimana sikap para sahabat Nabi dan ahli hadis ketika menyampaikan hadis. Diceritakan bahwa Umar bin al-Khathab pernah berkata: “barang siapa mendengar hadis lalu menyampaikan hadis itu sesuai yang ia dengar, maka ia akan selamat”[4].
Ucapan senada juga dikatakan Ibnu ‘Umar, anaknya, dan Zaid bin Arqam. Bahkan suatu saat Ibnu ‘Umar ketika membacakan hadis lalu orang yang ada disampingnya menirukan hadis itu dengan sedikit perubahan, yaitu menyebut rukun puasa sebelum rukun haji, Ibnu ‘Umar segera berkata: “Jangan  sebutkan rukun puasa setelah haji karena begitulah aku mendengar dari Rasulullah”.
Malik bin Anas juga tercatat sebagai seorang yang sangat hati‑hati ketika menyampaikan hadis. la tidak mau merubah sedikitpun susunan hadis yang sampai kepadanya. Persoalan yang kemudian muncul adalah bahwa tidak semua orang memiliki hafalan yang baik dan sempurna. Masyarakat Arab memang dikenal memiliki hafalan yang istimewa. Mereka sanggup menghafal puluhan ribu hadis dan nama-nama perawi hadisnya. Mereka juga sanggup menghadirkan hafalannya kapan saja dan di mana saja. Bagi yang memiliki keistimewaan seperti ini agaknya mudah saja mereka meriwayatkan hadis dengan redaksi yang sama persis dengan yang diterimanya dari Rasulullah SAW. Persoalannya adalah bahwa keistimewaan seperti itu sepertinya tidak dimiliki sepenuhnya oleh setiap orang meski mereka telah masuk Islam dan banyak mendengar hadis. Oleh karena itu, muncul gagasan meriwayatkan hadis dengan makna, karena bagaimanapun hadis harus tersebar ke seluruh pelosok dunia Islam dan tidak boleh mengalami stagnan gara-gara tidak dapat menghadirkan hadis sesuai dengan teks aslinya.

D. Meriwayatkan Hadis dengan Makna
Sungguhpun demikian, tidak semua ahli hadis bersikap seperti di atas. Juga tidak semua hadis, selalu diceritakan dengan susunan kata dan ungkapan kalimat dalam bentuk teks aslinya seperti yang disabdakan Rasul. Buktinya ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu al-Darda’, dan Muhammad bin Sirin, jika menyebutkan hadis, diakhiri dengan kata-kata dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa hadis yang mereka sampaikan tidak sama persis susunan kalimatnya dengan yang disampaikan Rasul. Mereka agaknya lebih mementingkan isi dari pada teks hadits itu sendiri. Sikap yang sama juga terlihat pada diri ‘Aisyah. Menurut penuturan ‘Urwah bin Zubair, ‘Aisyah tidak mempermasalahkan orang yang meriwayatkan hadis dengan maknanya. Bah-kan Ayyub pernah mendengar Muhammad bin Sirin berkata: “Kalau aku mendengar sebuah hadis dari 10 orang, kemungkinan mereka akan menyampaikan hadis itu dengan susunan yang berbeda, meskipun maknanya sama”.

E. Kesimpulan
Semoga ringkasan ini memotivasi kita semua untuk menekuni ilmu agama yang merupakan kewajiban bagi kita semua, kaum muslimin. Dan dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
Tata cara penerimaan hadis dapat dilakukan melalui beberapa cara. Cara‑cara itu turut menentukan status kesahihan sanad.
Para ulama hadis umumnya sangat berhati‑hati dalam menyampaikan hadis kepada orang lain, bahkan ada diantaranya yang lebih memilih diam dari pada harus menyampaikan hadis, karena khawatir terjadi kesalahan dalam mengungkapkan isi hadis. Sikap seperti itu merupakan refleksi dari rasa tanggung jawab mereka dalam menjaga kemurnian hadis.
Keberadaan Rasulullah sebagai teladan yang baik telah mendorong sebagian kalangan untuk mengikuti dan mencontoh setiap ucapan, tindakan dan perbuatan Rasul. Bukan hanya dalam cara bersikap dalam kehidupan sehari­-hari tetapi juga dalam menyampaikan hadis. Mereka meriwayatkan hadis sesuai bunyi teks yang didengarnya dari Rasul dan sama sekali tidak berani merubahnya walaupun sedikit.
Mengenai periwayatan hadis dengan makna, dapat disimpulkan sebagai berikut:
Para ulama sepakat bahwa untuk orang awam dilarang menyampaikan hadis dengan makna, demi menjaga kebenaran hadis itu sendiri. Sementara bagi ulama hadis, diperbolehkan meriwayatkan hadis dengan makna dengan syarat:
1)      Dilihat dari segi hadisnya, bukan hadis yang berkaitan dengan aqidah, bacaan-bacaan doa, tentang hukum halal-haram atau jami’ al‑kalm (hadis yang ungkapan lafalnya memiliki makna yang sangat dalam dan luas).
2)      Dilihat dari segi waktunya, periwayatan itu terjadi sebelum hadis dibukukan.



DAFTAR PUSTAKA
Hafidz (al) Ibn Katsir, Al Baits al-Hatsits fi Ikhtishari ilm al-Hadits, Beirut: Dar al-Fikr, t
Hamim Ilyas & Suryadi (Ed.), Wacana Studi Hadis Kontemporer, Yogyakarta: Tiara   Wacana, 2002
Suparta Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: Rajawali Pres,2001












[1] Ibn Manzhur,Lisan Al-‘Arab, Juz II, (Mesir: Dan Al-Mishriyah, t.t.), hlm.436-439, Muhammad Al-Fayumi, Misbah Al-Munir fi Ghorib Al- Syarh Al-Kabir li al-Rafi’I,Juz I, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah), 1978, hlm.150-151.
[2] Suparta Munzier ; Ilmu Hadis, hlm.82
[3] Suparta Munzier ; Ilmu Hadis, hlm.83
[4] Al-Ramaharmuzi, Al-Muhaddits Al-Fashil Baina Al-Rawi wa Al-Wa’I  (Beirut Dar Al-Fikr,1984), hlm, 127

Tidak ada komentar: