MAKALAH
Ulumul Hadis
Dosen
Pembimbing : Ust.Marni Mulyana Lc.
Tentang :
Periwayatan Hadis dengan Makna dan Lafas
Di Susun Oleh :
Mar’i Mahdy A.
Muh.Fauzan
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM LUQMAN AL HAKIM SURABAYA
Jln. Kejawan Putih Laguna VI / I Mulyorejo
Telp. (031) 5992062
http://www.stail.ac.id E-mail : stail_031@yahoo.com
A. Pendahuluan
Al-Hadis atau al-khabar (berita) yaitu sesuatu yang dipindahkan dari seseorang kepada orang lain[1] dan merupakan landasan untuk mengambil dalil dan hujjah yang kedua setelah al-Qur’an, hadis juga sangat berperan penting dalam berbagai aspek kehidupan di dunia dan akhirat. Maka dari itu seorang muslim juga sangat perlu untuk mengkaji hadis. Kalau al-Qur’an itu bisa di ibaratkan sebagai makanan maka hadis juga bisa diibaratkan sebagai air minumnya, maka bisa kita simpulkan kalau hadis itu berkaitan erat dengan al-Qur’an. Adalah Islam dibangun di atas pondasi sistem yang kokoh. Kerangka-kerangka dasar sistem tersebut telah disusun dengan baik oleh sang pembawa risalah Islam, nabi Muhammad SAW, dalam bingkai bimbingan wahyu Ilahi. Rangkaian sistem tersebut tertuang ke dalam dua wadah mulia, yakni al-Quran dan hadith (selanjutnya disebut hadis) atau sunnah.
Al-Hadis atau al-khabar (berita) yaitu sesuatu yang dipindahkan dari seseorang kepada orang lain[1] dan merupakan landasan untuk mengambil dalil dan hujjah yang kedua setelah al-Qur’an, hadis juga sangat berperan penting dalam berbagai aspek kehidupan di dunia dan akhirat. Maka dari itu seorang muslim juga sangat perlu untuk mengkaji hadis. Kalau al-Qur’an itu bisa di ibaratkan sebagai makanan maka hadis juga bisa diibaratkan sebagai air minumnya, maka bisa kita simpulkan kalau hadis itu berkaitan erat dengan al-Qur’an. Adalah Islam dibangun di atas pondasi sistem yang kokoh. Kerangka-kerangka dasar sistem tersebut telah disusun dengan baik oleh sang pembawa risalah Islam, nabi Muhammad SAW, dalam bingkai bimbingan wahyu Ilahi. Rangkaian sistem tersebut tertuang ke dalam dua wadah mulia, yakni al-Quran dan hadith (selanjutnya disebut hadis) atau sunnah.
Al-Quran
dan hadis memiliki keterkaitan kuat dalam proses membimbing umat Islam, walaupun
keduanya memiliki derajat yang berbeda dalam beberapa aspek, baik dalam proses
periwayatan, pengamalan ataupun posisinya sebagai sumber hukum, di mana
al-Quran diposisikan lebih awal dan hadis pada posisi selanjutnya. Al-Quran
sebagai sumber utama dan hadis sebagai penafsir al-Quran dalam praktek atau
penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal.
Al-Quran dan hadis telah disepakati oleh sebagian besar ummat Islam sebagai dua sumber hukum pokok, sedangkan sebagian kecil lain hanya menjadikan al-Quran sebagai sumber hukum Islam dan di sisi lain menolak hadis sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam, yang kemudian lazim dikenal dengan ingkar sunnah (Inkar sunnah).
Al-Quran dan hadis telah disepakati oleh sebagian besar ummat Islam sebagai dua sumber hukum pokok, sedangkan sebagian kecil lain hanya menjadikan al-Quran sebagai sumber hukum Islam dan di sisi lain menolak hadis sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam, yang kemudian lazim dikenal dengan ingkar sunnah (Inkar sunnah).
B. Pengertian
Memahami
kalimat “Periwayatan Hadis dengan Lafal dan Makna”[2], ada
empat kata yang harus didefenisikan terlebih dahulu, yaitu: periwayatan, hadis,
lafal dan makna. Selain itu, kalimat tersebut juga selanjutnya didefenisikan ke
dalam dua variabel untuk sampai pada sebuah pengertian yang utuh, yaitu
periwayatan hadis dengan lafal dan periwayatan hadis dengan makna.
Pertama,
periwayatan. Kata periwayatan dikenal dalam bahasa Arab adalah al riwayat
bentuk masdar dari kata rawa, secara bahasa berarti al-naql (penulisan), al-dhikr
(penyebutan), al-fatl (pintalan), dan
al-istiq’ (pemberian minum), kata ini
juga diartikan dengan kata hamala dan
qassa. Dalam perbendaharaan bahasa
Indonesia kata riwayat diartikan dengan cerita turun temurun, sejarah, dan
tambo, sedangkan untuk kata kerjanya adalah meriwayatkan diartikan dengan
menceritakan. Dari beberapa defenisi perkata tersebut, dapat diambil beberapa
kata yang dapat mewakili defenisi kata periwayatan, yakni penyebutan,
penerimaan dan kisah atau cerita. Dalam artian bahwa kata periwayatan dapat
didefenisikan sebagai sebuah proses menyebutkan, mengisahkan, menceritakan atau
menerima sebuah informasi tentang suatu objek.
Kedua,
hadis. Kata ini didefenisikan oleh para ulama secara beragam dengan
subjektifitas masing-masing. Selain itu, hadis juga sering disinonimkan dengan
beberapa istilah seperti khabar, athar, ataupun sunnah. Terlepas dari keragaman
perbedaan tersebut, yang diketengahkan hanya defenisi secara umum yaitu segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW. Baik perkataan, perbuatan, takrir
atau sifat-sifatnya baik sebelum atau sesudah diangkat menjadi Nabi. Untuk
memfokuskan pembahasan, kami akan mendefinisikan hadis khusus pada pembahasan
ini, sebagai informasi tentang perkataan perbuatan, takrir, ataupun hal ihwal
nabi secara tekstual yang telah diriwayatkan oleh para perawi yang sampai pada
kita saat sekarang ini.
Ketiga,
lafal. Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata ini didefenisikan sebagai cara
seseorang atau kelompok orang dalam suatu masyarakat mengucapkan bunyi bahasa.
Kata ini, dalam bahasa Arab sama dengan lafaza
yang bermakna nataqa bihi
(mengucapkan atau melafalkan). Sedangkan secara nomina berarti ucapan. Dalam
hal ini yang dimaksud adalah apa yang menjadi ucapan Nabi secara harfiah.
Keempat,
makna. Kata makna memiliki dua arti, arti dan maksud pembicara atau penulis,
pengertian yang diberikan pada sebuah bentuk kebahasaan. Dalam artian bahwa
kalimat yang dimaksud hanya memiliki arti dan maksud yang sama tetapi berbeda
secara lafal[3].Pada
pendefinisan selanjutnya dikerucutkan pada bentuk kalimat proses periwayatan
jika dihubungkan dengan objek, dalam hal ini adalah hadis, dapat didefenisikan
sebagai proses menceritakan atau menyampaikan hadis. Dalam tinjauan istilah
ilmu hadis, periwayatan didefenisikan sebagai kegiatan menerima hadis,
menukilkan serta menyandarkan hadis itu kepada rangkaian para pembawanya.
Dari
defenisi-defenisi di atas dapat dipahami bahwa periwayatan hadis paling tidak
memiliki tiga unsur yang saling terkait yaitu orang yang menyampaikan atau
menceritakan hadis (periwayat), hadis sebagai materi cerita dan orang yang
mendengar atau menerima hadis.
Dari
defenisi empat kata di atas, disimpulkan kedalam dua bentuk yang lebih
terfokus, yaitu periwayatan hadis dengan lafal dan periwayatan hadis dengan
makna. Bentuk pertama diartikan sebagai proses penyampaian informasi yang
berasal dari Rasulullah (hadis) sesuai dengan apa yang disampaikan tanpa
merubah lafal. Sedangkan bentuk kedua adalah proses penyampaian informasi yang
berkaitan dengan Rasulullah dengan lafal masing-masing penyampai informasi
dengan tidak meninggalkan esensi makna informasi tersebut.
C. Periwayatan Hadis dengan Lafal
Karena adanya rasa takut, maka jika
mereka (para periwayat hadis) merasa harus menyampaikan hadis (redaksi atau
teks hadis), cara periwayatan mereka umumnya
diungkapkan dalam bentuk lafalnya (teks aslinya) persis seperti yang mereka terima dari Rasulullah. Mereka
tidak berani merubah sedikitpun redaksi hadis
meskipun dengan sekedar mengganti huruf yang satu dengan huruf lainnya, menukar kata yang satu dengan kata
lain yang semakna, atau juga merubah urutan
kalimatnya. Cara periwayatan seperti ini merupakan konsekuensi dari rasa tanggung jawab mereka yang terhadap sebuah
hadis. Apalagi mereka menyadari
betul bahwa hadis adalah wahyu juga seperti halnya al‑Qur’an. Tentunya hadis harus dijaga dari kepalsuan‑kepalsuan.
Meriwayatkan hadis tanpa mengadakan
perubahan redaksinya sedikitpun merupakan suatu cara menjaga dan melestarikan kemurnian sumber dan ajaran Islam itu
sendiri.
Menurut mereka (para periwayat
hadis), melindungi hadis dari kepalsuan‑kepalsuan haruslah dilakukan sejak awal
dan dilakukan mulai dari kalangan sahabat sebagai generasi pertama pemegang
estafet bendera Islam setelah Rasulullah meninggalkan mereka semua.
Berikut ini akan dikemukakan
bagaimana sikap para sahabat Nabi dan ahli hadis ketika menyampaikan hadis.
Diceritakan bahwa Umar bin al-Khathab pernah berkata: “barang siapa mendengar hadis lalu menyampaikan hadis itu sesuai yang
ia dengar, maka ia akan selamat”[4].
Ucapan senada juga dikatakan Ibnu
‘Umar, anaknya, dan Zaid bin Arqam. Bahkan suatu saat Ibnu ‘Umar ketika
membacakan hadis lalu orang yang ada disampingnya menirukan hadis itu dengan
sedikit perubahan, yaitu menyebut rukun puasa sebelum rukun haji, Ibnu ‘Umar
segera berkata: “Jangan sebutkan rukun puasa setelah haji karena
begitulah aku mendengar dari Rasulullah”.
Malik bin Anas juga tercatat sebagai
seorang yang sangat hati‑hati ketika menyampaikan hadis. la tidak mau merubah
sedikitpun susunan hadis yang sampai kepadanya. Persoalan yang kemudian muncul
adalah bahwa tidak semua orang memiliki hafalan yang baik dan sempurna.
Masyarakat Arab memang dikenal memiliki hafalan yang istimewa. Mereka sanggup
menghafal puluhan ribu hadis dan nama-nama perawi hadisnya. Mereka juga sanggup
menghadirkan hafalannya kapan saja dan di mana saja. Bagi yang memiliki
keistimewaan seperti ini agaknya mudah saja mereka meriwayatkan hadis dengan
redaksi yang sama persis dengan yang diterimanya dari Rasulullah SAW. Persoalannya
adalah bahwa keistimewaan seperti itu sepertinya tidak dimiliki sepenuhnya oleh
setiap orang meski mereka telah masuk Islam dan banyak mendengar hadis. Oleh
karena itu, muncul gagasan meriwayatkan hadis dengan makna, karena bagaimanapun
hadis harus tersebar ke seluruh pelosok dunia Islam dan tidak boleh mengalami
stagnan gara-gara tidak dapat menghadirkan hadis sesuai dengan teks aslinya.
D. Meriwayatkan Hadis dengan Makna
Sungguhpun demikian, tidak semua
ahli hadis bersikap seperti di atas. Juga tidak semua hadis, selalu diceritakan
dengan susunan kata dan ungkapan kalimat dalam bentuk teks aslinya seperti yang
disabdakan Rasul. Buktinya ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu al-Darda’, dan Muhammad bin
Sirin, jika menyebutkan hadis, diakhiri dengan kata-kata dan sebagainya. Ini
menunjukkan bahwa hadis yang mereka sampaikan tidak sama persis susunan kalimatnya
dengan yang disampaikan Rasul. Mereka agaknya lebih mementingkan isi dari pada
teks hadits itu sendiri. Sikap yang sama juga terlihat pada diri ‘Aisyah.
Menurut penuturan ‘Urwah bin Zubair, ‘Aisyah tidak mempermasalahkan orang yang
meriwayatkan hadis dengan maknanya. Bah-kan Ayyub pernah mendengar Muhammad bin
Sirin berkata: “Kalau aku mendengar
sebuah hadis dari 10 orang, kemungkinan mereka akan menyampaikan hadis itu
dengan susunan yang berbeda, meskipun maknanya sama”.
E.
Kesimpulan
Semoga
ringkasan ini memotivasi kita semua untuk menekuni ilmu agama yang merupakan
kewajiban bagi kita semua, kaum muslimin. Dan dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa:
Tata cara penerimaan hadis dapat
dilakukan melalui beberapa cara. Cara‑cara itu turut menentukan status
kesahihan sanad.
Para ulama hadis umumnya sangat berhati‑hati
dalam menyampaikan hadis kepada orang lain, bahkan ada diantaranya yang lebih
memilih diam dari pada harus menyampaikan hadis, karena khawatir terjadi kesalahan
dalam mengungkapkan isi hadis. Sikap seperti itu merupakan refleksi dari rasa
tanggung jawab mereka dalam menjaga kemurnian hadis.
Keberadaan
Rasulullah sebagai teladan yang baik telah mendorong sebagian kalangan untuk
mengikuti dan mencontoh setiap ucapan, tindakan dan perbuatan Rasul. Bukan
hanya dalam cara bersikap dalam kehidupan sehari-hari tetapi juga dalam
menyampaikan hadis. Mereka meriwayatkan hadis sesuai bunyi teks yang
didengarnya dari Rasul dan sama sekali tidak berani merubahnya walaupun sedikit.
Mengenai
periwayatan hadis dengan makna, dapat disimpulkan sebagai berikut:
Para
ulama sepakat bahwa untuk orang awam dilarang menyampaikan hadis dengan makna,
demi menjaga kebenaran hadis itu sendiri. Sementara bagi ulama hadis, diperbolehkan
meriwayatkan hadis dengan makna dengan syarat:
1) Dilihat dari segi hadisnya, bukan
hadis yang berkaitan dengan aqidah, bacaan-bacaan doa, tentang hukum
halal-haram atau jami’ al‑kalm (hadis
yang ungkapan lafalnya memiliki makna yang sangat dalam dan luas).
2) Dilihat dari segi waktunya, periwayatan
itu terjadi sebelum hadis dibukukan.
DAFTAR PUSTAKA
Hafidz (al) Ibn Katsir, Al Baits al-Hatsits fi Ikhtishari ilm
al-Hadits, Beirut: Dar al-Fikr, t
Hamim Ilyas & Suryadi (Ed.), Wacana Studi Hadis Kontemporer,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002
Suparta
Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: Rajawali Pres,2001
[1]
Ibn Manzhur,Lisan Al-‘Arab, Juz II,
(Mesir: Dan Al-Mishriyah, t.t.),
hlm.436-439, Muhammad Al-Fayumi, Misbah
Al-Munir fi Ghorib Al- Syarh Al-Kabir li al-Rafi’I,Juz I, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah), 1978,
hlm.150-151.
[2]
Suparta Munzier ; Ilmu Hadis, hlm.82
[3]
Suparta Munzier ; Ilmu Hadis, hlm.83
[4]
Al-Ramaharmuzi, Al-Muhaddits Al-Fashil
Baina Al-Rawi wa Al-Wa’I (Beirut Dar
Al-Fikr,1984), hlm, 127
Tidak ada komentar:
Posting Komentar