Tipologi Budaya
Organisasi
Disampaikan
dan Didiskusikan pada Mata Kuliah Budaya Organisasi
Dosen Pengampu:
Miftahudin. M.SI
OLEH:
MAR’I MAHDY
AHMAD
NIM :
201131110012
PROGRAM STUDI
KOMUNIKASI
PENYARAN ISLAM
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM LUQMAN AL-HAKIM
SURABAYA
2014
A.
Definisi Budaya
- Kamus Besar Bahasa Indonesia
Budaya diartikan
sebagai pikiran, akal budi atau adat-istiadat. Secara tata bahasa, pengertian
kebudayaan diturunkan dari kata budaya yang cenderung menunjuk pada pola pikir
manusia.
- Pengertian Budaya Menurut Koentjaraningrat
Budaya adalah suatu
sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam
kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar.
Budaya adalah : Suatu
keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan,
hukum, adat istiadat, serta kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari
manusia sebagai anggota masyarakat.
B. Definisi Organisasi
Organisasi adalah
suatu kelompok orang dalam suatu wadah untuk tujuan bersama.
Dalam ilmu-ilmu sosial,
organisasi dipelajari oleh periset dari berbagai bidang ilmu, terutama
sosiologi, ekonomi, ilmu politik, psikologi, dan manajemen. Kajian mengenai
organisasi sering disebut studi organisasi (organizational studies),
perilaku organisasi (organizational behaviour), atau analisa organisasi
(organization analysis).
Terdapat
beberapa teori dan perspektif mengenai organisasi, ada yang cocok sama satu
sama lain, dan ada pula yang berbeda. Organisasi pada dasarnya digunakan
sebagai tempat atau wadah dimana orang-orang berkumpul, bekerjasama secara
rasional dan sistematis, terencana, terorganisasi, terpimpin dan terkendali,
dalam memanfaatkan sumber daya (uang, material, mesin, metode, lingkungan),
sarana-parasarana, data, dan lain sebagainya yang digunakan secara efisien dan
efektif untuk mencapai tujuan organisasi.
Menurut para ahli
terdapat beberapa pengertian organisasi sebagai berikut.
- Stephen P. Robbins menyatakan bahwa Organisasi adalah kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan.
- Prof Dr. Sondang P. Siagian, mendefinisikanorganisasi ialah setiap bentuk persekutuan antara dua orang atau lebih yang bekerja bersama serta secara formal terikat dalam rangka pencapaian suatu tujuan yang telah ditentukan dalam ikatan yang mana terdapat seseorang / beberapa orang yang disebut atasan dan seorang / sekelompok orang yang disebut dengan bawahan.
- Prof. Dr. Mr Pradjudi Armosudiro mengatakanorganisasi adalah struktur pembagian kerja dan struktur tata hubungan kerja antara sekelompok orang pemegang posisi yang bekerjasama secara tertentu untuk bersama-sama mencapai tujuan tertentu.
C. Tipologi Budaya Organisasi
Beberapa ahli
budaya organisasi mengemukakan pendapatnya tentang tipologi budaya organisasi
yang disesuaikan dengan perkembangan kondisi.
Seperti pendapat yang dikemukakan oleh Harrison (1972), Deal&
Kennedy (1982), Quinn & Mc. Grath (1985), dan Scholz (197). Mereka
memberikan wawasan kepada pimpinan puncak organisasi dakwah dalam proses
membangun budaya, bahwa pandangan para ahli budaya oragnisasi modern juga
diperlukan sebagai masukan agar sistematika sosialisas visi dan misi serta tata
nilai yang dibangun berjalan dengan baik.
Luasnya
pengertian budaya organisasi tersebut membuka peluang timbulnya berbagai
pandangan pula tentang adanya tipe-tipe budaya organisasi. Pendapat mereka
beragam dengan justifikasi dan sudut padang masing-masing.
Beberapa
klasifikasi tipe budaya yang di kembangkan oleh Harisson (1972) kemudian di
modifikasi oleh Handy (1978, 1985):
a. The Power Of Culture
Ciri-ciri dari
pada budaya organisasi dengan tipe the power of culture adalah; mempunyai “satu
sumber kekuatan” yang maksudnya adalah budaya yang berlaku pada organisasi lebih
dominan dipengaruhi oleh charisma seorang peimpin. Begitu pula system
organisasi dakwah islam juga menerapkan system imamah dan jama’ah yang menerapkan pola komando dengan ciri Sam’an wa Tha’atan atau mendengar da
ta’at pada setiap perintah. Diantara yang mendukung budaya ini antara lain;
1. Kepercayaan
Modal
dari pemahaman terhadap filosofi, visi dan misi organisai dakwah Islam
melandasi lahirnya nilai saling percaya. Kepercayaan dibangun dari unsur adanya
persamaan tujuan. Adanya tujuan organisasi dakwah Islam membentuk komitmen yang
tinggi, sehingga kepercayaan satu dengan yang lain terbangun secara intim.
2. Empati
Empati
atau keadaan mental dan pikiran yang sama dalam kelompok organisasi adalah
faktor pendukung mapannya budaya power culture.
Seorang pimpinan puncak tidak menaruh kecurigaan kepada jajarannya bahwa
lini komandonya akan berbuat makar terhadap kebijakan Begitu pula sebaliknya
bahwa semua lini komando tidak menaruh curiga kepada pimpinan puncak karena
tujuan yang akan dicapai sudah saling dipahami.
Sikap
keterbukaan seorang pemimpin adalah suatu magnit yang mengundang simpati
jama’ah. Rasa simpati melahirkan empati
bahwa hidup berjama’ah itu laksana keluarga besar yang saling menaruh saying. Kesejukan dibalik
ucapan salam yang tulus serta senyum simpul sebagai refleksi idealism
melahirkan motivasi kerja yang tidak kenal lelah. Dengan demikian doktrin ta’at
kepada perintah pemimpin tidaklah bersifat angker dan menakutkan Sebab lahirnya
keta’atan berangkat dari kesadaran berorganisasi yang menganut pola system
komando.
3. Komunikasi
personal
Komunikasi
langsung antara pimpinan puncak dan jama’ah adalah suatu tanda berlakunya
interaksi intim tanpa kendala. Rasulullah SAW berinteraksi dengan sahabat dan
jam’ah sangat dekat. Kedekatannya tidak mengurangi charisma yang beliau
sandang. Hal ini terwujud karena budaya hormat menghormati.
Ternyata
terbentuknya komunikasi yang efektif terletak pada kepribadian dan perilaku
seseorang. Bagaimana seseorng itu dapat memahami akan kepentingan orang lain
serta mampu memberikan solusinya. Secara psikologis, seorang pemimpin akan
mengakar kepemimpinannya didalam sanubari jama’ah atau umat apabila kepribadiannya
menarik. Sebab prilaku adalah deskripsi karakter seseorang dan juga merupakan
kualitas suatu kepemimpinan.
Kesimpulan
dari tipe budaya “power culture” adalah memiliki kemampuan beraksi cepat dan
tepat, tetapi sangat tergantung kepada seorang pemimpin atau sekelompok orang
yang ada di pusat kekuatan. Tidak dapat disangkal pula bahwa kesuksesan
Rasulullah dalam membangun kepemimpinan Islam bertumpu pada diri beliau dan
sahabat inti. Dengan demikian kepemimpinan organisasi dakwah Islam sebagai
pelanjut risalah dakwah secara substansif tidak bergeser dari patron
kepemimpinan Rasulullah SAW.
b. The Role Culture
Tipe budaya role
culture, bercirikan adanya birokrasi yang terikat ketat oleh prinsip-prinsip
pengaturan yang logis dan rasional. kekuatannya terletak pada fungsi atau
spesialisasi dari setiap departemen.
Peranan dan prosedur serta deskripsi tugas sangat berpengaruh terhadap
lingkungan internal dari suatu role culture. Promosi individu dalam rangka
jenjang karirnya ditentukan oleh unjuk kerja yang memuaskan dan menguntungkan
organisasi.
Pada dasarnya
role culture ini berorientasi terhadap job performance dengan spesialisasi
tugas. Oleh karena itu, keahlian staf dan disiplin kerja menjadi penilaiaan
utama dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Dinamika kerja sangat dominan
dalam mewarnai sikap mental semua unsur organisasi sehingga budaya kompetisi
menjadi baku.
Dalam orgaisasi
dakwah yang strukturnya meggunakan kepemimpinan kolegtif dan dewan, yang tepat
untuk menerapakan budaya role adalah eksekutif. Sebab orientasi eksekutif
adalah pelaksanaan kebijakan produk dewan Syari’ah dan dewan Syura yang
diplenokan dihadapan dewan pimpinan dan disahkan oleh pimpinan uum.
c. The Task Culture
Kalau budaya
power mencetak suatu system kerja yang efektif karena faktor kharismatik
seorang pemipin maka budaya role adalah menampikan kekuatan tim. Selanjutnya
budaya task berorientasi kepada keahlian dari pada posisi dan charisma
seseorang. bentuk budaya task ini berlaku pada organisasi yang sifatnya
sfesifik atau proyek. Kelebihan dari budaya task adalah fleksibel, adaptif,
otonomi individu, menghormati kemampuan seseorang merupakan perinsip yang
paling penting.
d. The Person
Culture
Tipe budaya yang
terakhir ini menyimpulkan bahwa pengorganisasian secara kolektif lebih baik
dari pada secara individual. Budaya person bercirikan bahwa otonomi individu
dibuat merata dan jika power diperlukan biasanya berdasarkan kepada keahlian
seseorang. Misalnya saja tenaga ahli atau spesialis berkumpul pada satu
departemen Research and Development (R&D).
Manajemen
Organisasi Dakwah Islam pada hakekatnya menganggap dan menghitung semua potensi
sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan adalah asset
karunia Alah SWT. Aset tersebut untuk dimanfaatkan sebagai sarana menegakkan
kalimatulah di muka bumi. Oleh karenanya, sumber daya manusia bagaimana pun
tingkat kualitas intelektualnya dan latar belakang status social ekonominya,
tetap sebagai asset yang berharga.
Jeff
Cartwright (1999: 11) menyatakan adanya empat tipologi budaya organisasi yang
dapat pla dipandang sebagai siklus hidup bdaya, yaitu sebagai berikut:
1. The Monoculture
Monoculture
merupakan program mental tunggal, orang brpikir sama dan sesuai norma budaya
yang sama. orangnya mempunyai satu pikiran. Mrupakan model “ras murni” yang
menyebabkan banyak konflik dalam dunia di mana terdapat banyak etnis dan
keompok rasial berbeda.
2. The
Superordinate Culture
Terdiri dari
subkultur terkoordinasi, masing-masing
dengan keyakinan dan nilai-nilai, gagasan dan sudut pandang sendiri, tetapi
semua bekerja dalam satu organisasi dan semua termotivasi mencapai sasaran
organisasi.
3. The divisive
culture
The divisive
culture bersifat memecah belah. Dalam budaya ini sub-kultur dalam organisasi
secara individual mempunyai agenda dan tujuannya sendiri. Dalam model ini,
organisasi ditarik kearah yang berbeda. Tidak ada pemisahan dan konflik antara
“kita dan mereka”. Tidak terdapat arah yang jelas dan kekurangan kepemimpinan.
4. The disjuntive
culture
Budaya ini
ditandai oleh seringnya pemecahan orgaisasi secara eksplosif atau bahkan
menjadi unit budaya individual.
Terrence
E. Deal dan Allan A. kennedy (2000: 107) mengelompokkan budaya juga dalam empat
tip yaitu:
1. The tough-guy,
macho culture
Merupakan dunia
para individualis yang secara regular mengambil resiko tinggi dan mendapakan
umpan balik cepat apabila tindakan mereka benar atau salah.
2. The work hard
–play hard culture
Dalam budaya ini
yang menjadi aturan adalah kegembiraan dan tindakan, dan pekerja megambil
sedikit resiko, semuanya dengan umpan balik cepat. Untuk berhasil, budaya
mendorong mereka menjaga aktivitas dengan resiko rendah pada tingkat yang
relative tinggi
3. The bet-your
company culture
Merupakan budaya
dengan keputusan dengan keputusan yang mengandung taruhan besar, dimana
beberapa tahun berlalu sebelum pekerja tahu bahwa keputusan telah memberikan
hasil. Budaya ini berisiko tinggi dan lingkungan dengan umpan balik lambat.
4. The process
culture
Merupakan budaya
dengan tanpa atau sedikit umpan balik d mana pekerja menemukan sulit untuk
mengukur apa yang mereka lakukan, malahan mereka mengonsentrasikan pada
bagaimana hal tersebut dlakukan. Nama lain dari budaya ini ketika perosesnya
menjad diluar control adalah birokrasi.
Stephen
P. Robbins (2001: 572) juga mengelompokkan tipe budaya menjadi empat bagian
yaitu:
1. Networked cultue
Organisasi
memandang anggota sebagai suatu keluarga dan teman (High on sociability, low on
solidarity). Budaya ini ditandai oleh
tingkat sosiabilitas atau kesenangan bergaul tinggi dan tingkat solidaritas
atau kesetiakawanan rendah. Network culture sangat bersahabat dan bersuka ria
dalam gaya.
2. Marcenary
culture
Organisasi
memfokus pada tujuan (low on sociability, high on solidarity). Budaya
organisasi ini ditandai oleh tingkat sosiabilitas endah dan tingkat solidaritas
tinggi. Marcenary culture melibatkan orng yang sangat fokus dalam menarik
bersama untuk membuat pekerjaan dilakukan.
3. Fragmented
culture
Organisasi yang
dibuat dari para individualis (low on sociability, low on solidarity). Budaya
ini ditandai oleh solidaritas dan sosiabilitas rendah. Orang yang bekerja dalam
fragmented culture sedikit melakukan kontak dan dalam banyak hal mereka bahkan
tidak saling mengenal. meskipun pekerja akan berbicara dengan orang lain
apabila dirasakan perlu dan berguna untuk melakukannya, orang biasanya meninggalkannya
sendiri.
4. Communal culture
Organisasi
menillai baik persahabatan dan kinerja (high on sociability, high on
solidarity). Budaya ini ditandai oleh sosiabilitas dan solidaritas tinggi Anggo
communal culture sangat bersahabat satu sama lain dan bergaul dengan baik, baik
secara peibadi maupun personal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar