Kamis, 24 November 2016

Makalah Tipologi Budaya Organisasi



Tipologi Budaya Organisasi
Disampaikan dan Didiskusikan pada Mata Kuliah Budaya Organisasi

  



  
Dosen Pengampu:
Miftahudin. M.SI

OLEH:
MAR’I MAHDY AHMAD
NIM : 201131110012




PROGRAM STUDI
KOMUNIKASI PENYARAN ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM LUQMAN AL-HAKIM
SURABAYA
2014

A.    Definisi Budaya
  • Kamus Besar Bahasa Indonesia
Budaya diartikan sebagai pikiran, akal budi atau adat-istiadat. Secara tata bahasa, pengertian kebudayaan diturunkan dari kata budaya yang cenderung menunjuk pada pola pikir manusia.
Budaya adalah suatu sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar.
Budaya adalah : Suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat istiadat, serta kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat.
B.   Definisi Organisasi
Organisasi adalah suatu kelompok orang dalam suatu wadah untuk tujuan bersama.
Dalam ilmu-ilmu sosial, organisasi dipelajari oleh periset dari berbagai bidang ilmu, terutama sosiologi, ekonomi, ilmu politik, psikologi, dan manajemen. Kajian mengenai organisasi sering disebut studi organisasi (organizational studies), perilaku organisasi (organizational behaviour), atau analisa organisasi (organization analysis).
Terdapat beberapa teori dan perspektif mengenai organisasi, ada yang cocok sama satu sama lain, dan ada pula yang berbeda. Organisasi pada dasarnya digunakan sebagai tempat atau wadah dimana orang-orang berkumpul, bekerjasama secara rasional dan sistematis, terencana, terorganisasi, terpimpin dan terkendali, dalam memanfaatkan sumber daya (uang, material, mesin, metode, lingkungan), sarana-parasarana, data, dan lain sebagainya yang digunakan secara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan organisasi.



Menurut para ahli terdapat beberapa pengertian organisasi sebagai berikut.
  • Stephen P. Robbins menyatakan bahwa Organisasi adalah kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan.
  • Prof Dr. Sondang P. Siagian, mendefinisikanorganisasi ialah setiap bentuk persekutuan antara dua  orang atau lebih yang bekerja bersama serta secara formal terikat dalam rangka pencapaian suatu tujuan yang telah ditentukan dalam ikatan yang mana terdapat seseorang / beberapa orang yang disebut atasan dan seorang / sekelompok orang yang disebut dengan bawahan.
  • Prof. Dr. Mr Pradjudi Armosudiro mengatakanorganisasi adalah struktur pembagian kerja dan struktur tata hubungan kerja antara sekelompok orang pemegang posisi yang bekerjasama secara tertentu untuk bersama-sama mencapai tujuan tertentu.
C.   Tipologi Budaya Organisasi
Beberapa ahli budaya organisasi mengemukakan pendapatnya tentang tipologi budaya organisasi yang disesuaikan dengan perkembangan kondisi.  Seperti pendapat yang dikemukakan oleh Harrison (1972), Deal& Kennedy (1982), Quinn & Mc. Grath (1985), dan Scholz (197). Mereka memberikan wawasan kepada pimpinan puncak organisasi dakwah dalam proses membangun budaya, bahwa pandangan para ahli budaya oragnisasi modern juga diperlukan sebagai masukan agar sistematika sosialisas visi dan misi serta tata nilai yang dibangun berjalan dengan baik.
Luasnya pengertian budaya organisasi tersebut membuka peluang timbulnya berbagai pandangan pula tentang adanya tipe-tipe budaya organisasi. Pendapat mereka beragam dengan justifikasi dan sudut padang masing-masing.
Beberapa klasifikasi tipe budaya yang di kembangkan oleh Harisson (1972) kemudian di modifikasi oleh Handy (1978, 1985):
a.       The Power Of Culture
Ciri-ciri dari pada budaya organisasi dengan tipe the power of culture adalah; mempunyai “satu sumber kekuatan” yang maksudnya adalah budaya yang berlaku pada organisasi lebih dominan dipengaruhi oleh charisma seorang peimpin. Begitu pula system organisasi dakwah islam juga menerapkan system imamah dan jama’ah yang menerapkan pola komando dengan ciri Sam’an wa Tha’atan atau mendengar da ta’at pada setiap perintah. Diantara yang mendukung budaya ini antara lain;

1.      Kepercayaan
Modal dari pemahaman terhadap filosofi, visi dan misi organisai dakwah Islam melandasi lahirnya nilai saling percaya. Kepercayaan dibangun dari unsur adanya persamaan tujuan. Adanya tujuan organisasi dakwah Islam membentuk komitmen yang tinggi, sehingga kepercayaan satu dengan yang lain terbangun secara intim.
2.      Empati
Empati atau keadaan mental dan pikiran yang sama dalam kelompok organisasi adalah faktor pendukung mapannya budaya power culture.  Seorang pimpinan puncak tidak menaruh kecurigaan kepada jajarannya bahwa lini komandonya akan berbuat makar terhadap kebijakan Begitu pula sebaliknya bahwa semua lini komando tidak menaruh curiga kepada pimpinan puncak karena tujuan yang akan dicapai sudah saling dipahami.
Sikap keterbukaan seorang pemimpin adalah suatu magnit yang mengundang simpati jama’ah.  Rasa simpati melahirkan empati bahwa hidup berjama’ah itu laksana keluarga besar yang  saling menaruh saying. Kesejukan dibalik ucapan salam yang tulus serta senyum simpul sebagai refleksi idealism melahirkan motivasi kerja yang tidak kenal lelah. Dengan demikian doktrin ta’at kepada perintah pemimpin tidaklah bersifat angker dan menakutkan Sebab lahirnya keta’atan berangkat dari kesadaran berorganisasi yang menganut pola system komando.
3.      Komunikasi personal
Komunikasi langsung antara pimpinan puncak dan jama’ah adalah suatu tanda berlakunya interaksi intim tanpa kendala. Rasulullah SAW berinteraksi dengan sahabat dan jam’ah sangat dekat. Kedekatannya tidak mengurangi charisma yang beliau sandang. Hal ini terwujud karena budaya hormat menghormati.
Ternyata terbentuknya komunikasi yang efektif terletak pada kepribadian dan perilaku seseorang. Bagaimana seseorng itu dapat memahami akan kepentingan orang lain serta mampu memberikan solusinya. Secara psikologis, seorang pemimpin akan mengakar kepemimpinannya didalam sanubari jama’ah atau umat apabila kepribadiannya menarik. Sebab prilaku adalah deskripsi karakter seseorang dan juga merupakan kualitas suatu kepemimpinan.
Kesimpulan dari tipe budaya “power culture” adalah memiliki kemampuan beraksi cepat dan tepat, tetapi sangat tergantung kepada seorang pemimpin atau sekelompok orang yang ada di pusat kekuatan. Tidak dapat disangkal pula bahwa kesuksesan Rasulullah dalam membangun kepemimpinan Islam bertumpu pada diri beliau dan sahabat inti. Dengan demikian kepemimpinan organisasi dakwah Islam sebagai pelanjut risalah dakwah secara substansif tidak bergeser dari patron kepemimpinan Rasulullah SAW.
b.      The Role Culture
Tipe budaya role culture, bercirikan adanya birokrasi yang terikat ketat oleh prinsip-prinsip pengaturan yang logis dan rasional. kekuatannya terletak pada fungsi atau spesialisasi dari  setiap departemen. Peranan dan prosedur serta deskripsi tugas sangat berpengaruh terhadap lingkungan internal dari suatu role culture. Promosi individu dalam rangka jenjang karirnya ditentukan oleh unjuk kerja yang memuaskan dan menguntungkan organisasi.
Pada dasarnya role culture ini berorientasi terhadap job performance dengan spesialisasi tugas. Oleh karena itu, keahlian staf dan disiplin kerja menjadi penilaiaan utama dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Dinamika kerja sangat dominan dalam mewarnai sikap mental semua unsur organisasi sehingga budaya kompetisi menjadi baku.
Dalam orgaisasi dakwah yang strukturnya meggunakan kepemimpinan kolegtif dan dewan, yang tepat untuk menerapakan budaya role adalah eksekutif. Sebab orientasi eksekutif adalah pelaksanaan kebijakan produk dewan Syari’ah dan dewan Syura yang diplenokan dihadapan dewan pimpinan dan disahkan oleh pimpinan uum.  
c.       The Task Culture
Kalau budaya power mencetak suatu system kerja yang efektif karena faktor kharismatik seorang pemipin maka budaya role adalah menampikan kekuatan tim. Selanjutnya budaya task berorientasi kepada keahlian dari pada posisi dan charisma seseorang. bentuk budaya task ini berlaku pada organisasi yang sifatnya sfesifik atau proyek. Kelebihan dari budaya task adalah fleksibel, adaptif, otonomi individu, menghormati kemampuan seseorang merupakan perinsip yang paling penting.
d.      The Person Culture
Tipe budaya yang terakhir ini menyimpulkan bahwa pengorganisasian secara kolektif lebih baik dari pada secara individual. Budaya person bercirikan bahwa otonomi individu dibuat merata dan jika power diperlukan biasanya berdasarkan kepada keahlian seseorang. Misalnya saja tenaga ahli atau spesialis berkumpul pada satu departemen Research and Development (R&D).
Manajemen Organisasi Dakwah Islam pada hakekatnya menganggap dan menghitung semua potensi sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan adalah asset karunia Alah SWT. Aset tersebut untuk dimanfaatkan sebagai sarana menegakkan kalimatulah di muka bumi. Oleh karenanya, sumber daya manusia bagaimana pun tingkat kualitas intelektualnya dan latar belakang status social ekonominya, tetap sebagai asset yang berharga.
Jeff Cartwright (1999: 11) menyatakan adanya empat tipologi budaya organisasi yang dapat pla dipandang sebagai siklus hidup bdaya, yaitu sebagai berikut:
1.      The Monoculture
Monoculture merupakan program mental tunggal, orang brpikir sama dan sesuai norma budaya yang sama. orangnya mempunyai satu pikiran. Mrupakan model “ras murni” yang menyebabkan banyak konflik dalam dunia di mana terdapat banyak etnis dan keompok rasial berbeda.
2.      The Superordinate Culture
Terdiri dari subkultur  terkoordinasi, masing-masing dengan keyakinan dan nilai-nilai, gagasan dan sudut pandang sendiri, tetapi semua bekerja dalam satu organisasi dan semua termotivasi mencapai sasaran organisasi.
3.      The divisive culture
The divisive culture bersifat memecah belah. Dalam budaya ini sub-kultur dalam organisasi secara individual mempunyai agenda dan tujuannya sendiri. Dalam model ini, organisasi ditarik kearah yang berbeda. Tidak ada pemisahan dan konflik antara “kita dan mereka”. Tidak terdapat arah yang jelas dan kekurangan kepemimpinan.


4.      The disjuntive culture
Budaya ini ditandai oleh seringnya pemecahan orgaisasi secara eksplosif atau bahkan menjadi unit budaya individual.
Terrence E. Deal dan Allan A. kennedy (2000: 107) mengelompokkan budaya juga dalam empat tip yaitu:
1.      The tough-guy, macho culture
Merupakan dunia para individualis yang secara regular mengambil resiko tinggi dan mendapakan umpan balik cepat apabila tindakan mereka benar atau salah.
2.      The work hard –play hard culture
Dalam budaya ini yang menjadi aturan adalah kegembiraan dan tindakan, dan pekerja megambil sedikit resiko, semuanya dengan umpan balik cepat. Untuk berhasil, budaya mendorong mereka menjaga aktivitas dengan resiko rendah pada tingkat yang relative tinggi
3.      The bet-your company culture
Merupakan budaya dengan keputusan dengan keputusan yang mengandung taruhan besar, dimana beberapa tahun berlalu sebelum pekerja tahu bahwa keputusan telah memberikan hasil. Budaya ini berisiko tinggi dan lingkungan dengan umpan balik lambat.
4.      The process culture
Merupakan budaya dengan tanpa atau sedikit umpan balik d mana pekerja menemukan sulit untuk mengukur apa yang mereka lakukan, malahan mereka mengonsentrasikan pada bagaimana hal tersebut dlakukan. Nama lain dari budaya ini ketika perosesnya menjad diluar control adalah birokrasi.
Stephen P. Robbins (2001: 572) juga mengelompokkan tipe budaya menjadi empat bagian yaitu:
1.      Networked cultue
Organisasi memandang anggota sebagai suatu keluarga dan teman (High on sociability, low on solidarity). Budaya  ini ditandai oleh tingkat sosiabilitas atau kesenangan bergaul tinggi dan tingkat solidaritas atau kesetiakawanan rendah. Network culture sangat bersahabat dan bersuka ria dalam gaya.
2.      Marcenary culture
Organisasi memfokus pada tujuan (low on sociability, high on solidarity). Budaya organisasi ini ditandai oleh tingkat sosiabilitas endah dan tingkat solidaritas tinggi. Marcenary culture melibatkan orng yang sangat fokus dalam menarik bersama untuk membuat pekerjaan dilakukan.
3.      Fragmented culture
Organisasi yang dibuat dari para individualis (low on sociability, low on solidarity). Budaya ini ditandai oleh solidaritas dan sosiabilitas rendah. Orang yang bekerja dalam fragmented culture sedikit melakukan kontak dan dalam banyak hal mereka bahkan tidak saling mengenal. meskipun pekerja akan berbicara dengan orang lain apabila dirasakan perlu dan berguna untuk melakukannya, orang biasanya meninggalkannya sendiri.
4.      Communal culture
Organisasi menillai baik persahabatan dan kinerja (high on sociability, high on solidarity). Budaya ini ditandai oleh sosiabilitas dan solidaritas tinggi Anggo communal culture sangat bersahabat satu sama lain dan bergaul dengan baik, baik secara peibadi maupun personal.

Tidak ada komentar: