Jumat, 26 April 2013

“Gula-gula” bukan Gula Pasir


Oleh: Mar’i Mahdy A.
           
            Ini pengalaman yang saya alami ketika ingin memasuki jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Bermula Setelah kelulusan di SMP di kota "Daeng" Makassar, sayapun harus memilih sekolah lanjutan untuk dapat melanjutkan pendidikan saya. Muncullah dua pilihan untuk saya melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Yaitu pilihan pertama, tetap tinggal di Makassar dan melanjutkannya ke pendidikan SMK Komputer, karena saat itu paman saya (saat itu memang saya tinggal sama paman, sedangkan kedua orangtua saya tinggal di Malaysia) menginginkan saya masuk di sana (SMK Komputer).Pilihan kedua, saya bisa melanjutkan sekolah di luar pulau, yaitu tepatnya di pulau Kalimantan yang terkenal dengan suku Dayaknya itu. Sekolah di Pulau Kalimantan tepatnya di Kota Bontang, Kalimantan Timur menjadi pilihan kedua disebabkan ada salah satu kakak saya yang juga tinggal di sana.

            Setelah lama memikir dan mencari petunjuk, maka sayapun putuskan untuk memilih pilihan yang kedua yaitu ke Kota Bontang untuk melanjutkan pendidikan saya. Tidak butuh waktu banyak untuk menyiapkan segala barang dan tiket keberangkatan saya, pada hari dan tanggal yang tertera dalam tiket itu, keberangkatan kapal dari pelabuhan Soekarno - Hatta, Makasssar menuju ke pelabuhan Kota Balikpapan. Sayapun berangkat bersama teman kakak saya karena saat itu kakak saya hanya menunggu di Bontang.
            Selama sehari semalam di kapal, kamipun tiba di Kota Balikpapan, disambut dengan ukiran-ukiran Khas suku Dayak yang melekat indah di dinding bangunan di sekitar pelabuhan membuat kami menjadi terkesan dengan Kota ini. Karena perjalanan ke Bontang masih membutuhkan enam jam perjalan melewati kota Samarinda, teman kakak sayapun memilih untuk menggunakan sebuah mobil Kijang untuk dapat mengantar kami menuju kota Bontang.
            Perjalanpun di lanjutkan ke Kota Bontang, kota yang sangat terkenal dengan gas buminya itu. Di dalam perjalanan, sang sopir berhenti sejenak untuk suatu keperluan katanya. Di tempat penberhentian itu, kami melihat suatu warung, sayapun disuruh kesana untuk membeli permen oleh teman kakak saya itu, segeralah saya kesana untuk membeli permen. Setibanya di sebuah warung itu, sayapun langsung menemui sang pemilik warung itu dan berkata " maaf bu' saya ingin beli gula-gula (dalam bahasa keseharian di Makassar gula-gula ialah permen)" sang pemilik warung itupun terlihat bingung sehingga ia bertanya "mau beli apa dek?" sayapun menjawab "saya ingin beli gula-gula bu'" sang pemilik warung itupun mengambilkan saya gula pasir. Karena melihat gula pasir yang diambilkan membuat saya terheran karena yang saya inginkan adalah gula-gula bukan gula pasir . Kemudian saya berkata " yang saya maksud permen bu' bukan gula pasir" ibu itupun tertawa dan berkata "oh bombon (dalam bahasa kalimantan permen ialah bombon) toh dek". Sayapun tertawa dengan kejadian ini.
            Itulah kisah dan pengalaman yang saya alami denagn kaitannya persepsi, yang menyimpulkan persepsi orang kalimantan dan orang sulawesi itu berbeda dalam membahasakan permen. Orang Makassar menyebut permen dengan sebutan gula-gula, beda lagi halnya dengan orang kalimantan, mereka menyebut permen dengan sebutan bombon. Itulah persepsi.
*Penulis adalah ketua API (Asosiasi Penulis Islam) Surabaya dan Mahasiswa STAI Lukman Al-Hakim, tinggal di http://naghc21.blogspot.com 

Tidak ada komentar: