Oleh: Mar’i Mahdy A.
Ini
pengalaman yang saya alami ketika ingin memasuki jenjang Sekolah Lanjutan
Tingkat Atas. Bermula Setelah kelulusan di SMP di kota "Daeng"
Makassar, sayapun harus memilih sekolah lanjutan untuk dapat melanjutkan pendidikan
saya. Muncullah dua pilihan untuk saya melanjutkan ke jenjang pendidikan
berikutnya. Yaitu pilihan pertama, tetap tinggal di Makassar dan melanjutkannya
ke pendidikan SMK Komputer, karena saat itu paman saya (saat itu memang saya
tinggal sama paman, sedangkan kedua orangtua saya tinggal di Malaysia)
menginginkan saya masuk di sana (SMK Komputer).Pilihan kedua, saya bisa
melanjutkan sekolah di luar pulau, yaitu tepatnya di pulau Kalimantan yang
terkenal dengan suku Dayaknya itu. Sekolah di Pulau Kalimantan tepatnya di Kota
Bontang, Kalimantan Timur menjadi pilihan kedua disebabkan ada salah satu kakak
saya yang juga tinggal di sana.
Setelah
lama memikir dan mencari petunjuk, maka sayapun putuskan untuk memilih pilihan
yang kedua yaitu ke Kota Bontang untuk melanjutkan pendidikan saya. Tidak butuh
waktu banyak untuk menyiapkan segala barang dan tiket keberangkatan saya, pada
hari dan tanggal yang tertera dalam tiket itu, keberangkatan kapal dari
pelabuhan Soekarno - Hatta, Makasssar menuju ke pelabuhan Kota Balikpapan.
Sayapun berangkat bersama teman kakak saya karena saat itu kakak saya hanya
menunggu di Bontang.
Selama
sehari semalam di kapal, kamipun tiba di Kota Balikpapan, disambut dengan
ukiran-ukiran Khas suku Dayak yang melekat indah di dinding bangunan di sekitar
pelabuhan membuat kami menjadi terkesan dengan Kota ini. Karena perjalanan ke
Bontang masih membutuhkan enam jam perjalan melewati kota Samarinda, teman
kakak sayapun memilih untuk menggunakan sebuah mobil Kijang untuk dapat mengantar
kami menuju kota Bontang.
Perjalanpun
di lanjutkan ke Kota Bontang, kota yang sangat terkenal dengan gas buminya itu.
Di dalam perjalanan, sang sopir berhenti sejenak untuk suatu keperluan katanya.
Di tempat penberhentian itu, kami melihat suatu warung, sayapun disuruh kesana
untuk membeli permen oleh teman kakak saya itu, segeralah saya kesana untuk
membeli permen. Setibanya di sebuah warung itu, sayapun langsung menemui sang
pemilik warung itu dan berkata " maaf bu' saya ingin beli gula-gula (dalam
bahasa keseharian di Makassar gula-gula ialah permen)" sang pemilik warung
itupun terlihat bingung sehingga ia bertanya "mau beli apa dek?"
sayapun menjawab "saya ingin beli gula-gula bu'" sang pemilik warung
itupun mengambilkan saya gula pasir. Karena melihat gula pasir yang diambilkan
membuat saya terheran karena yang saya inginkan adalah gula-gula bukan gula
pasir . Kemudian saya berkata " yang saya maksud permen bu' bukan gula
pasir" ibu itupun tertawa dan berkata "oh bombon (dalam bahasa
kalimantan permen ialah bombon) toh dek". Sayapun tertawa dengan kejadian
ini.
Itulah
kisah dan pengalaman yang saya alami denagn kaitannya persepsi, yang
menyimpulkan persepsi orang kalimantan dan orang sulawesi itu berbeda dalam
membahasakan permen. Orang Makassar menyebut permen dengan sebutan gula-gula,
beda lagi halnya dengan orang kalimantan, mereka menyebut permen dengan sebutan
bombon. Itulah persepsi.
*Penulis adalah ketua API (Asosiasi Penulis Islam) Surabaya dan Mahasiswa STAI Lukman
Al-Hakim, tinggal di http://naghc21.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar